Diklat Pelatihan Rumah Sakit – Kasus “dibuangnya” Mbah Darmo alias Edi Suparman, pasien lansia oleh petugas rumah sakit di Lampung 21 Januari 2014 lalu menambah daftar panjang ironi pelayanan Rumah Sakit di Indonesia, yang kerapkali “alergi” terhadap pasien-pasien tidak mampu. Ungkapan “orang miskin dilarang sakit” menjadi sebuah realitas sosial, dan Pemerintah yang dibelakang meja selalu saja sesumbar menjamin fasilitas kesehatan masyarakat, khususnya warga kurang mampu, dalam prakteknya tidak seperti yang dijanjikan.
Ya, mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, terutama bagi warga tidak mampu nampaknya masih jauh panggang dari api, berbagai kasus penelantaran warga miskin di banyak rumah sakit kerapkali terjadi di negeri ini, alasannya klasik ; tidak punya biaya yang mencukupi, hal tersebut sudah menjadi rahasia umum, bahkan dalam banyak kasus menyebabkan kematian tragis pasien miskin belakangan ini. Informasi keluhan pasien biasanya yang sering adalah diskriminasi dalam pelayanan, ditolak dirawat di rumah sakit dengan alasan kamar penuh, padahal ini terjadi hanya karena pasien yang bersangkutan dianggap tidak mampu dari segi biaya, sehingga dianggap pihak RS akan merepotkan, lalu keharusan menyediakan uang muka dalam kasus-kasus emergency, seperti misalnya dalam kasus korban kecelakaan yang masuk UGD atau ICU, harus ada uang muka penjamin yang besarnya tak mungkin terjangkau oleh pasien kalangan miskin, hingga obat-obatan dan biaya perawatan yang mahal, itu hanya sebagian saja informasi dari masyarakat tentang mandegnya fungsi sosial RS yang sungguh memrihatinkan. Menurut WHO (World Health Organization), Rumah Sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), termasuk juga memberikan pelayanan sosial. Jadi yang namanya Rumah Sakit seharusnya juga wajib menjalankan fungsi-fungsi sosial di bidang kesehatan, bukan semata aspek komersialnya saja yang dikedepankan.
Tantangan Makro
Persoalan buruknya pelayanan bagi pasien kurang mampu sudah sering terjadi di mana-mana, sehingga akhirnya melahirkan satire “ Orang miskin dilarang sakit”, akankah sindiran ini terus dibiarkan, tentu saja tidak, dan harus dicarikan solusinya yang efektif, agar tidak ada lagi diskriminasi dalam hal pelayanan kesehatan dan RS tidak semata-mata komersial melainkan juga mengedepankan aspek sosialnya. Status sosial warganegara tidak boleh dipilah pilih karena semua memiliki hak yang sama. Apalagi dalam hal pelayanan kesehatan, pemerintah wajib memerhatikan sektor ini. Kita tentu tak dapat begitu saja menuding pihak-pihak mana saja dalam instansi terkait yang bersalah, karena persoalannya tentu tidak semata-mata dari tidak berjalannya peranan sosial Rumah Sakit, melainkan juga peran pemerintah dalam aspek makro terutama dalam hal memberikan jaminan kesehatan yang konkrit bagi masyarakat. Tantangan makro dalam peningkatan pelayanan sosial Rumah Sakit terjadi dalam hal keseragaman pengertian tentang fungsi sosialnya. Patut diingat, secara historis agaknya keseragaman pengertian tentang fungsi Rumah Sakit dapat dirujuk kepada :
Pertama, Undang-undang No. 44 Tahun 2009, Tentang Rumah Sakit, BAB III Pasal 29, ayat F berbunyi: melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/ miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang mukanya, ambulans gratis, pelayanan bencana, kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan. Dan Kedua adalah SK Menteri Kesehatan No. 920 / Maks / Pen / XII / 1986 tentang Upaya pelayanan sosial dibidang medis. Pada butir 5 dinyatakan bahwa 25 persen dari tempat tidur disediakan bagi penderita kurang mampu membayar ( tidak termasuk penderita yang tidak dipungut karena ada kaitan keluarga dari pemilik Rumah Sakit). Pertanyaannya adalah, apakah kaidah hukum itu sudah benar-benar diikuti oleh pihak Rumah Sakit ? atau sekedar basa-basi saja. Ada apa dengan sistem pelayanan kesehatan di negeri ini? Mengapa citra rumah sakit yang dulu kental akan fungsi sosialnya kini redup, berganti wajah dan tampilan barunya yang lebih berorientasi untuk kepentingan bisnis?.
Kendala dan Solusi
Persoalan “tidak ramahnya” RS terhadap pasien kurang mampu adalah juga sebagai akibat dari lemahnya sistem yang membantu pihak RS memperkuat fungsi sosial tersebut, misalnya antara lain dengan adanya penetapan beban pajak untuk bahan baku obat dan peralatan medis, dan subsidi obat generik yang kecil. Kurangnya dukungan pemerintah inilah yang menyebabkan biaya RS menjadi mahal. Biaya RS di Negara jiran seperti Malaysia lebih murah karena tidak ada beban tersebut. Jaminan kesehatan pengobatan gratis tersedia di Malaysia bahkan di Sri Lanka yang menggunakan alokasi dana APBN. Bahkan, di Malaysia pemeritah mematok tarif RS swasta sehingga tidak heran jika biaya berobat di sana hanya sepertiga RS swasta Indonesia. Taiwan, Filipina, dan Korea Selatan bahkan menetapkan tarif RS dan dokter. Dengan berbagai mekanisme pengaturan, pemerintah setempat berusaha memberikan kesempatan bagi warga miskin untuk mendapat akses kesehatan. Persoalan lain di Indonesia adalah semakin bertumbuhnya RS berstandar internasional dimana-mana, terutama sejak dibukanya keran liberalisasi sektor kesehatan oleh BKPM, dimana saham kepemilikan asing dalam sektor rumah sakit naik dari 49 % menjadi 67 %. Jadi hal yang menyumbang dilema serta meredupnya fungsi sosial RS adalah kemunculan investor asing, selain juga anggaran kesehatan dari pemerintah yang rendah. Di sisi lain ada pula fenomena privatisasi RS milik pemerintah. Sebenarnya hal tersebut tidak akan menjadi masalah jika ada komitmen pelayanan sosial yang dipegang teguh di sektor kesehatan ini, khusunya dalam menjalankan amanat UU yang telah diberlakukan. Sebagai contoh, di Belanda dan Swedia hampir tidak ada perbedaan pelayanan antara RS Swasta dan Pemerintah. Integrasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan asuransi (semua warga negara memiliki asuransi) wajib maupun sosial, membuat warga negara aman dan nyaman. Disisi lain, dengan adanya asuransi, RS sebagai penyelenggara layanan tidak dapat semena-mena menentukan tarif pelayanan, tidak mematok ‘uang pangkal’, tidak dapat ‘main mata’ dengan perusahaan farmasi. Pemerintah juga menjamin mekanisme klaim pembayaran asuransi sesuai waktu yang disepakati. (Ehwardoyo, 2013). Dengan demikian sebenarnya kita dapat lebih memahami solusi persoalan kurangnya fungsi dan pelayanan sosial dari aspek yang lebih komprehensif, yaitu dari sisi pembiayaan atau subsidi pemerintah di sektor kesehatan, artinya sistim jaminan sosial yang belum mapan perlu di sempurnakan dengan koordinasi yang lebih baik secara lintas sektoral, lalu juga komitmen serta integritas pihak RS dalam mematuhi peraturan perundangan yang berlaku khususnya mengenai pelayanan sosial, sehingga fungsi-fungsi rumah sakit dalam menyehatkan masyarakat sekaligus memasyarakatkan hidup sehat akan berjalan mantap. Akhirnya perlu ditekankan bahwa makna hakiki sebuah Rumah Sakit adalah “Rumah Sehat” artinya memberi jaminan kesehatan, menjalankan fungsi-fungsi sosialnya, terutama bagi kalangan rakyat miskin, bukan malah menjadikan orang menjadi miskin karena sakit atau orang sakit menjadi miskin…(*)