Diklat Rumah Sakit UU No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit – Menjadi pasien bukanlah kehendak semua orang, kecuali bagi para koruptor. Sakit sering mereka kehendaki sebagai alasan pembenar untuk mendapatkan pembantaran atau sekadar menunda eksekusi putusan majelis hakim, atau alasan untuk tidak dilakukannya proses peradilan atas perkara yang menimpa dirinya. Akan tetapi, ketika sakit betulan siapa pun orangnya, pejabat, konglomerat ataupun rakyat jelata, tentu mengharapkan mendapat pelayanan kesehatan yang bermutu. Mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu adalah hak yang dilindungi oleh Undang-undang (pasal 32 UU 44/2009) yang merupakan kewajiban bagi pemberi pelayanan kesehatan itu. Beberapa hari terakhir ini, kita digegerkan dengan berita ditangkapnya dr Dewa Ayu Sasiary Prawan (38) di Balikpapan. Dia salah satu dari tiga dokter yang sempat menjadi buron atas tuduhan keterlibatan kasus malpraktik, yang mengakibatkan meninggalnya Julia Fransiska Makatey (26).

Terlepas benar atau salah atas putusan Mahkamah Agung Nomor perkara 365k/pid/2012 yang sudah inkrah pada kasus tertinggalnya kain kasa pascaoperasi itu, saya hanya ingin mengajak pembaca untuk merenungi bagaimana agar kalau menjadi pasien tidak menjadi korban malpraktik. Dan, bagaimana pula mencegah malpraktik serta penyelesaiannya.

Tulisan ini saya awali dengan mengajak pembaca untuk memiliki pemahaman yang sama dari makna kata “malpraktik”. Black’s Law Dictionary mendefinisikan, malpraktik sebagai; professional misconduct or unreasonable lack of skill (kesalahan atau kurangnya keterampilan dari tenaga profesional yang tidak masuk akal.

Sedangkan menurut World Medical Association (WMA/1992), yaitu: medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (malpraktik pada medis merupakan kegagalan dokter dalam melakuan standar perawatan untuk pengobatan terhadap pasien, atau kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan pelayanan kepada pasien, hingga menyebabkan pasien mengalami cedera).

Dalam perspektif hukum, dari definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan. WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis.

Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable), yang terjadi saat dilakukan tindakan medis sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien, tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik.

Sejak dulu dikatakan profesi dokter adalah profesi yang luhur dan terhormat. Di manakah letak keluhuran dan kehormatan profesi tersebut?

Sejak awal dia lulus pendidikan, dokter wajib melakukan sumpah dokter, dalam memberikan pelayanan ada kode etik kedokteran yang melandasinya, mendahulukan upaya keselamatan pasien adalah prinsip profesinya (agrotii salos leg suprima), tanpa memandang status sosial pasien.

Betapa pentingnya profesi dokter di masyarakat, bahkan dalam situasi peperangan sekalipun dokter tidak boleh diserang, dipanah atau ditembak. Dengan demikian, jelas kedudukannya di mata dunia adalah profesi yang luhur dan dihormati. Akan tetapi nilai keluhuran dan kehormatan itu akan sirna manakala prinsip mendahulukan upaya keselamatan pasien itu berganti dengan mendahuluan materi atau uang muka sebelum melakukan tindakan medik, lebih lebih jika dalam keadaan darurat.

Pada prinsipnya seorang dokter sangat senang bila pasiennya adalah orang yang cerdas. Ini, akan memudahkan dokter dalam memberikan pemahaman kepada pasiennya. Pada umumnya pasien yang cerdas akan mengajukan lebih banyak pertanyaan pada saat wawancara (anamnesis). Sedang pasien yang kurang cerdas, cenderung menerima saja penjelasan yang kadang juga seadanya. Karena faktor miskomunikasi ini, maka sering menimbulkan gugatan malpraktik medik.

Dalam kontrak terapiutik, kedudukan dokter dan pasien adalah seimbang (equal) di mata hukum. Sama-sama sebagai subjek hukum (naturlijk Persoon), bukan menjadi objek dari salah satu pihak. Objek dari hubungan hukum dalam kontrak terapiutik ini adalah upaya maksimal seorang dokter (innspaning verbentenis), bukan hasilnya sembuh atau tidak sembuh.

Karena dalam kontrak terapiutik tidak memperjanjian hasil, sehingga dokter wajib mengedepankan prinsip kehati-hatian, berupaya semaksimal mungkin, bekerja sesuai dengan Standar Prosedur Operasional dan sesuai dengan kompetensinya.

Jika perasaan seorang dokter bekerja sudah sesuai SOP, akan tetapi pasien merasa dirugikan dan menggugat pelayanan dokter ke jalur hukum, Kok tega?

Negara ini adalah negara hukum. Siapa pun wajib tunduk dan patuh kepada norma hukum, Hukum bertujuan menjaga ketertiban hubungan antarmanusia, menjamin terpenuhinya rasa keadilan dan memberikan manfaat bagi setiap insan. Hukum juga menjamin hak setiap individu. Termasuk, dalam lapangan pelayanan kedokteran, tidak terlepas dari ranah hukum.

Sudah hampir 10 tahun diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UUPK), tetapi tidak semua dokter paham akan isi undang undang ini. Di dalam pasal 66 UUPK ini memberikan hak kepada pasien untuk mengadukan dan menggugat dokter/dokter gigi apabila merasa dirugikan dengan pelayanan kedokteran, baik persoalan etika, disiplin, dan hukum secara perdata maupun pidana.

Munculnya gugatan pasien biasanya berawal dari kurangnya komunikasi antara dokter/dokter gigi dengan pasien atau keluarganya. Bagaimana seharusnya dokter/dokter gigi dalam memberikan pelayanan kedokteran kepada pasien?

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) telah mengeluarkan Keputusan Nomor 18/KKI/KEP/IX/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Praktik Dokter Yang Baik. Secara khusus pada BAB VIII angka 8.1 disebutkan bahwa komunikasi yang baik meliputi:

1. Mendengarkan keluhan pasien, menggali informasi dan menghormati pandangan serta kepercayaan pasien yang berkaitan dengan keluhannya.

2. Memberikan informasi yang diminta atau yang diperlukan tentang kondisi, diagnosis, terapi dan prognosis pasien, serta rencana perawatannya dengan menggunakan cara yang bijak dan bahasa yang dimengerti pasien. Termasuk informasi tentang tujuan pengobatan, pilihan obat yang diberikan, cara pemberian serta serta pengaturan dosis obat, dan kemungkinan efek samping obat yang mungkin terjadi.

3. Memberikan informasi tentang tata cara tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien dan atau keluarganya, sebelum tindakan medik itu dilakukan.

Ketiga hal itu tidak hanya merupakan kewajiban yang diatur dalam keputusan KKI, tetapi merupakan amanat Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Karena sampai saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur tentang malpraktik medik, maka sering kali pakar hukum menafsirkan malpraktik medik identik dengan kelalaian.

Lantas kalau diduga terjadi kelalaian oleh dokter bagaimana mekanisme penyelesaian hukumnya? Dalam pasal Pasal 29 UU Nomor 36 tahun 2009 menyebutkan; “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”

Dengan demikian, mediasi adalah pilihan utama yang harus ditempuh lebih dahulu dalam setiap dugaan malpraktik medik. Berdasarkan penjelasan pasal 29 ini jungto PERMA Nomor 1 tahun 2008, penyelesaian mediasi ini harus dipimpin oleh seorang mediator yang bersertifikat.

Tidak semua perkara hukum harus diselesaikan melalui jalur hukum (litigasi), karena melalui mediasi maka mnghasilkan  win win solotion bagi semua pihak. Dengan demikian, no malpractice! (*)

Oleh: Machli Riyadi SH MH
Peneliti Hukum Kedokteran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *