Pelatihan Rumah Sakit | Diklat Rumah Sakit –
Banyaknya penolakan pasien yang dilakukan oleh rumah sakit, khususnya di Jakarta merupakan buah simalakama akibat minimnya ketersediaan sarana ruang perawatan khusus untuk bayi atau Neotanal Intensive Care Unit (NICU). Terlebih pasca pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014.Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr.dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD-Kger, mengatakan, pelaksanaan program JKN oleh BPJS Kesehatan awal Januari lalu membuat lonjakan pasien secara signifikan. Kunjungan pasien rawat jalan di RSCM saat ini meningkat 300 persen atau mencapai 80 ribu orang perbulan, dibanding tahun 2013 yang hanya sebesar 28 ribu kunjungan perbulan.
Hal serupa juga terjadi pada pasien rawat inap dan pasien bayi baru lahir yang mengalami gangguan kesehatan sehingga membutuhkan fasilitas NICU. Namun, ketersediaan NICU di RSCM yang hanya 70 unit, sedangkan kedatangan pasien setiap bulannya mencapai 80 hingga 100 pasien bayi baru lahir.
“Jadi 30 pasien tidak ketampung. Ini yang kita bingung. Bukannya kita menolak, tapi jika tempatnya tidak ada, apakah pasien lama yang sedang dirawat kemudian disuruh pulang, padahal belum waktunya?” kata Soejono kepada Harian Terbit di Jakarta, Senin (8/12/2014) lalu.
Apalagi, lanjut dia, Peraturan BPJS Kesehatan No.4 Tahun 2014 tentang Kepesertaan terkait ketentuan waktu tunggu atau aktivasi kartu selama tujuh hari. Minimnya sosialisasi menjadikan RS seperti ‘tertuduh’ jika terjadi kasus pasien yang terpaksa ditolak karena kartu BPJS Kesehatan belum dapat digunakan.
Hal senada juga dikatakan Direktur Medik dan Keperawatan RS Fatmawati, Dr. Lia Gardenia Partakusuma, SpPK (K), MM, MARS. Menurutnya, peraturan BPJS tersebut sangat membahayakan RS akibat sosialisasi kepada masyarakat yang tidak berjalan.
“Kita (RS) saja tidak disosialisasikan, tahu-tahu muncul peraturan itu dan langsung berlaku. Bisa-bisa nanti rumah sakit yang disalahkan pasien, padahal peraturan dari BPJS ada waktu tunggu itu,” kata Lia secara terpisah.
Contoh kasus, ungkapnya, ada pasien luka bakar di RS Fatmawati yang membutuhkan perawatan, namun kartu BPJS pasien tersebut belum aktif. Karena sifatnya darurat, kita tetap melayani pasien. Akan tetapi, bagaimana dengan biaya perawatannya?
“Ini kan jadi dilema. Satu sisi kita harus menjalani fungsi sosial, tapi dimana tanggung jawab sosial BPJS Kesehatan? Bagaimana jika banyak kasus seperti ini, bisa tergganggu nanti operasional rumah sakit jika BPJS Kesehatan tidak mau menanggung biaya pengobatannya,” kata dia.
Ia melanjutkan, peraturan ini juga berdampak pada pasien bayi baru lahir. Bahkan, ada seorang ibu hamil yang ingin mendaftarkan bayinya menjadi peserta BPJS Kesehatan, padahal anak itu belum lahir. Sang ibu, kata dia, khawatir terjadi masalah pada bayinya sehingga membutuhkan biaya perawatan yang besar.
“Ini kasihan pasien. Rasa kekhawatiran karena peraturan itu sudah sedemikian rupa. Boleh ada penataan peserta dengan adanya peraturan, tapi bukan seperti itu caranya,” tegasnya.
Sekadar diketahui, fasilitas RS yang minim dan adanya peraturan baru BPJS Kesehatan telah menambah masalah baru dalam sistem jaminan sosial kesehatan di Indonesia. Kasus penolakan pasien oleh RS semakin bermunculan, seperti dua kasus yang terjadi belum lama ini.
Muhammad Firdaus, bayi dari Ahmad Daud (32) dan Nurahmah (25), warga RT 03/19, Kelurahan Tugu Utara yang ditolak RSUD Koja dan RSCM. Ia terlahir dengan kondisi tubuh yang tidak normal atau dalam istilah medis kongenital multiple.
Begitu juga dengan balita bernama Abbiyasa Rizal Ahnaf (2) yang mengidap penyakit penyumbatan di saluran pencernaan, sebanyak 22 RS menolaknya. Meski akhirnya mendapatkan perawatan di RS Tarakan, Abbiyasa menghembuskan napas terakhirnya usai tindakan operasi.