Pelatihan Rumah Sakit | Diklat Rumah SakitRS Mata Cicendo jadi satu-satunya rumah sakit mata rujukan di Indonesia. Tepat Januari 2014, usianya sudah 105 tahun. Sebagai rumah sakit yang sudah lama berdiri, tak terhitung berapa pasien yang sudah ditangani. Selain itu, tak terhitung juga jumlah peralatan yang dipakai dalam kurun waktu lebih dari 100 tahun itu. Mulai dari peralatan sederhana hingga peralatan canggih dipakai untuk mengobati para pasien.Dari waktu ke waktu, tentu teknologi semakin berkembang pesat. Begitu juga dengan peralatan medis yang dipakai. Peralatan lama tentu habis masa pakainya dan terpaksa harus ‘dipensiunkan’ setelah RS Mata Cicendo memiliki peralatan yang lebih canggih.

Peralatan itu lama-kelamaan menumpuk setelah tidak terpakai lagi. Beberapa tahun lalu tercetus ide untuk memanfaatkan peralatan yang sudah ‘pensiun’ untuk dipajang di museum.

“Di kita ini banyak alat yang sudah tidak dipakai. Daripada bingung mau dikemanakan, mau dilelang sayang lebih baik kita kumpulkan, dipajang, dan dikemas dalam bentuk museum,” kata Direktur Utama RS Mata Cicendo, Hikmat Wangsaatmadja, Rabu (18/12/2013).

Salah satu ruangan di lantai tiga RS Mata Cicendo sempat dijadikan tempat penyimpanan peralatan medis berusia tua yang sudah tidak terpakai. Konsep museum sudah dijalankan selama beberapa tahun, namun konsep itu baru benar-benar dimaksimalkan dalam kurun dua tahun terakhir.

Sejak dua tahun terakhir, peralatan di lantai tiga dipindahkan ke salah satu ruangan khusus di lantai satu, tidak jauh dari lobi. Dinding dan pintunya terbuat dari kaca. Peralatan yang dipajang pun bisa terlihat dari luar.

Ruangan itu kemudian dikenal sebagai museum mata. Setiap peralatan yang dipajang diberi keterangan tahun pembuatan dan penjelasan kegunaannya.

Salah satu peralatan medis tua yang pernah dipakai di RS Mata Cicendo adalah perimetri sederhana buatan tahun 1869. Alat itu berguna untuk mempertahankan jarak pandang yang konstan dalam memberikan stimulus saat memeriksa mata pasien.

Yang lebih tua adalah trial lens buatan tahun 1843. Trial lens merupakan satu set lensa yang terdiri dari lensa sferis, silindiris, dan lensa asesoris yang dipakai untuk mengukur ketajaman mata.

Peralatan lainnya adalah mesin fakoemulfisikasi buatan tahun 1960. Alat itu digunakan menggunakan tenaga ultrasonik untuk menghancurkan lensa mata yang telah mengalami katarak.

Alat itu merupakan alat fakoemultifikasi generasi pertama yang digunakan RS Mata Cicendo dan dioperasionalkan pada 1980-1985.

Ada juga lensometer atau focimeter buatan 1961. Itu merupakan alat yang digunakan untuk menentukan titik fokus kekuatan lensa dan axis dari suatu lensa.

Di RS Mata Cicendo, sebenarnya masih banyak peralatan medis yang sudah ‘pensiun’, namun yang dipajang di museum hanya sebagian karena ruangan yang terbatas.

Ke depan, Hikmat menyebut tidak menutup kemungkinan perlatan yang sudah ‘pensiun’ itu dipajang di museum. Lewat museum itu, diharapkan minimal memberi pengetahuan bagi masyarakat, khususnya terkait dunia medis.

Soal asal-usul peralatan itu, Hikmat menyatakan sebagian adalah milik rumah sakit, tapi sebagian lagi adalah peralatan milik pribadi para dokter yang pernah bekerja di RS Mata Cicendo. Ada juga dokter yang kini masih bekerja di sana dan menyumbangkan peralatan medisnya untuk dipajang di museum.

Ke depan, dia ingin RS Mata Cicendo jadi hospital tourism yakni rumah sakit sekaligus jadi tempat wisata. Bukan sekadar wisata, melainkan lebih pada wisata ilmu pengetahuan.

Museum itu diharapkan jadi salah satu daya tarik untuk wisatawan selain pelayanan di rumah sakit itu sendiri. “Tapi fokus kita tetap pada pelayanan medis. Dengan konsep itu, bukan berarti kita lebih mengedepankan sisi komersial,” jelas Hikmat.

Saat ini, dia mengaku museum itu memang belum terbuka sepenuhnya untuk publik. Siapapun sebenarnya bisa saja masuk ke sana asalkan menempuh prosedur lebih dulu dengan menghubungi pihak rumah sakit.

Alasan museum itu belum benar-benar terbuka untuk umum dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia. Pihak rumah sakit juga ingin menjaga agar peralatan medis yang dipajang tidak jadi korban tangan-tangan jahil.

Tapi ke depan, museum itu akan ditata lebih baik lagi dan bisa benar-benar terbuka untuk masyarakat.

Sementara untuk mendukung konsep hospital tourism, dalam beberapa tahun terakhir dilakukan berbagai penataan lokasi. Suasana rumah sakit pemerintah yang selama ini dikenal seram justru tidak terlihat. Semua hampir semua ruangan sudah dibuat senyaman mungkin, bahkan mirip hotel atau mal.

Di sana juga terdapat galeri lukisan, kafetaria, hingga orang yang dengan setia bermain piano di salah satu sudut rumah sakit. Ada juga orang yang selalu setia menemani pengunjung dengan alunan suara seruling di area lobi.

Salah satu yang saat ini masih terlihat kurang nyaman di sana adalah tempat parkir yang terkesan semrawut untuk mobil. Hikmat menyebut penataan sedang dilakukan, sehingga dalam waktu dekat parkir akan lebih tertata.

Rencananya karyawan RS Mata Cicendo nantinya tidak akan diperbolehkan parkir di sekitar area rumah sakit. Area di sana nantinya hanya dipakai oleh pengunjung. “Kita ingin memberi pengunjung kenyamanan,” tandas Hikmat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *